Páginas

Sep 6, 2016

selasa manis

Sebuah lagu dari penyanyi favorit dia dulu tengah melantun dari sebuah saluran radio yang saya dengarkan. Entah kenapa saya tidak bisa lepas dari kegiatan mendengarkan radio ini, kapanpun dan dimanapun. Lagu ini mengantarkan saya pada kejadian tadi siang.  saya sedang mengambil sebuah pekerjaan untuk sekedar bantu bantu teman saya. Saat jam makan siang tiba, kami berjalan ke arah kantin kantor dan sekembalinya, mungkin karena dalam pikiran saya dia masih begitu lekat, entah kenapa saya seperti melihat sosoknya saat itu berada di kejauhan. Saya tengok sekali lagi, memang itu bukan dia. Kemudian saya berpaling ke arah lain untuk meyakinkan bahwa sosok itu bukanlah dia. Meski secara kasat mata tinggi pria itu mungkin hampir menyamai tinggi seseorang yang dulu sempat mengisi hari hari saya, orang itu benar-benar bukan dia. Hanya saja hati kecil saya mungkin berharap orang itu adalah dia.

Entah salah atau tidak, pria itu juga sepertinya menoleh ke arah saya pada saat yang sama. Bukan karena apa-apa, mungkin dia hanya terkejut melihat ada seseorang yang dengan aneh menatapnya secara berulang-ulang. Saya seperti berharap bayangan itu ada di sekitar saya, hanya sekedar untuk saya lihat bagaimana kabar dan wujudnya kini. Namun sepertinya saat saya menghapus semua kontak yang berhubungan dengan dirinya, dia pun melakukan hal yang sama kemudian memilih menjauh tanpa menjalin hubungan baik.

Memang tidak mudah, apalagi dalam hal mengikhlaskan. Saya harus benar-benar dengan rela menerima bahwa semua ini memang kenyataan yang harus saya hadapi. Meski seringkali pemikiran masa lalu itu muncul, saya membiarkannya untuk lekat sementara dalam ingatan saya, hanya untuk dikenang bukan lagi untuk ditangisi.

Sep 1, 2016

halaman samping rumah

Tempat ini adalah tempat favorit saya
Sepulang kerja apabila saya dapat jadwal kerja pagi, saya selalu meluangkan waktu untuk duduk disini sore harinya. Kira-kira jam lima sampai jam enam sore, sekedar untuk menghirup udara segarnya.

Yang membuat saya betah disini dan menjadikannya sebagai tempat bersantai adalah pemandangannya yang langsung mengarah pada persawahan, pohon-pohon kelapa yang tinggi, kicauan burung, hembusan angin dan warna langitnya.

Banyak yang saya sukai dari rumah yang baru kami tempati beberapa bulan belakangan ini. Rumah ini cukup besar meski tidak megah, banyak ventilasi, pintu belakang yang apabila dibuka juga menyuguhkan rimbunnya pepohonan, dan juga letak kamar saya yang apabila jendelanya dibuka  saya dapat melihat pemandangan samping rumah saya-tadi.

Berbeda sekali dengan rumah yang dulu, bangunan permanen yang menurut saya tidak cukup sehat dan agak sempit karena pemilihannya waktu itu juga dalam keadaan yang cukup terdesak. Saya merasa banyak yang sudah berubah semenjak kepergian kami dari rumah itu. Kami telah berusaha untuk sesuatu yang lebih baik, dan saya meninggalkan akhir kisah cinta saya disana. Akhir perdebatan saya dengannya juga disana. Hingga keputusan kami untuk berpisah, juga muncul disana.

Jika saya ingat-ingat lagi, jarak rumah yang dulu dengan tempat kerja saya juga lumayan jauh. Selain itu, jika saya dapat jadwal kerja malam, ketika pulang saya akan merasa ngeri sendiri. Jalan yang saya lalui bukan jalan yang dilalui oleh kebanyakan orang, sebab daerah itu adalah daerah yang cukup mendekati ujung bagian dari kota ini. Namun dulu saya merasa itu bukanlah masalah besar sebab akan ada seseorang yang akan rela mengantar saya hingga sampai rumah dengan selamat. Lelaki itu suka mengantar dan menemani saya apabila sedang dalam perjalanan. Pada saat itu saya merasa tidak terbiasa kalau harus diperlakukan seperti itu. Dia bilang, ini demi keselamatan saya. Sebab masa lalunya yang hancur disebabkan kelalaiannya tidak menjaga orang yang dulu di hatinya itu, seperti sekarang.

Maka setelah itu saya selalu merasa aneh, karena menganggap alasan tersebut tidak tulus berasal dari dalam hatinya. Dan tidak berapa lama kami akan sedikit berdebat. Sebenarnya tujuan saya mempermasalahkan hal seperti itu karena tidak ingin dibanding-bandingkan dengan masa lalunya.cukup kita, hanya tentang kita. Berulang kali saya tekankan kalimat itu padanya.

Dia selalu mengatakan kalau saya salah paham, mungkin iya mungkin saja tidak.
Kadang saya merasa sikap saya mungkin berlebihan, padahal maksudnya hanya ingin lebih terbuka kepada saya. Namun karena pada saat itu saya masih tidak bisa menerima penjelasan-penjelasannya maka hanya keributan yang akan terjadi setiap kali ia berusaha membuka diri menceritakan apa yang dulunya pernah terjadi yang berdampak hingga kini padanya.

Saya tidak mau mendengarkan, saya hanya emosi. Saya katakan padanya bahwa saya muak menghadapi semua permasalahan ini. Permasalahan hubungan kami berdua, pendidikan dan juga keluarga saya. Mungkin ini yang sering dikatakan orang bahwa manusia juga punya batas kesabaran. Hingga pada akhirnya, dia yang dulunya dengan sabar  selalu menyabarkan saya, luluh juga sabarnya. Dia mengatakan bahwa tidak bisa lagi menghadapi saya yang mudah muak dengan berbagai keadaan. Padahal saat itu saya sangat membutuhkan kekuatan dan motivasi darinya. Saya mengharapkan banyak hal padanya.

Sebelum  memulai hubungan pun pertemuan kami cukup rumit, dia sering datang dan pergi begitu saja.  Hingga akhirnya saya bosan diperlakukan seperti itu lalu memutuskan untuk benar-benar melupakannya dan tidak mengharapkan apa-apa lagi darinya. Tapi sepertinya hal itu sulit saya lakukan, karena pekerjaan saya yang berada di bagian pelayanan dan dia yang berada di bagian pengadaan untuk pelayanan saya. Beberapa keadaan mengharuskan kami terus bertemu meski tanpa komunikasi atau bertatap mata sekalipun.

Beberapa waktu kemudian, dia kembali memulai kontak dengan saya. Namun kali ini dia menyatakan, ini keseriusan saya. Saya kembali kepada kamu setelah menyelesaikan semua urusan saya. Melihat usahanya yang “jumpalitan” akhirnya saya luluh juga.
Kemudian kami memulainya dengan perasaan masing-masing yang begitu bergejolak. Sempat ku dapati di pertengahan hubungan kami, masalahnya dengan masa lalunya masih banyak yang belum benar-benar dia selesaikan. Sehingga hal itu juga sering memacu keributan di antara kami. Pada saat yang sama saya juga merasakan perasaannya pada saya yang begitu besar.

Waktu itu segala yang ada dalam diri saya sangat tidak stabil, saya terlalu memikirkan hal-hal yang bahkan belum saya hadapi dan sering merasa kesal.
Mungkin kami bertemu di saat yang salah, saat itu dia pun butuh untuk dikuatkan. Sedangkan dia mendapati saya yang dalam keadaan begitu rapuh.
 
Pada awalnya saya sempat kehilangan diri saya. Saya tidak ingin membuka mata di pagi hari dan tak ingin tidur di malam hari. Mau makan apapun sepertinya serba salah, semuanya serba tidak menarik di mata saya yang baru saja menghadapi kenyataan buruk itu. Bahkan untuk sekedar berdiri dan berjalan saja rasanya saya tidak mampu.

Hari-hari berganti, teman-teman menguatkan saya dan saya disibukkan untuk berjumpa dengan beberapa dari mereka yang lama tidak bertatap muka. Saya sudah lebih menghargai diri sendiri, melakukan apapun yang saya mau, dan lebih sering menghadiahi diri.
Sebagai bagian dari proses, saya memulai untuk memaafkan dan mengikhlaskan.
Saya ingin kembali menata semuanya, yang sempat diisi olehnya, akan saya kosongkan dan saya isi sendiri.

Oh iya, saya harus menceritakan ini juga.
Akhir-akhir ini saya menyukai perjalanan pulang saya dari tempat kerja ke rumah di sore hari,  sebab saya melewati jalan raya yang begitu berangin dan dijatuhi dedaunan kering pada sore hari. Saya selalu dengan sengaja memperlambat laju kendaraan untuk sekedar menikmatinya.

Saat menjemput pulang sekolah adik saya, juga. Saya suka. Sebab saya akan melewati jembatan besar yang dibawahnya sungai berwarna coklat susu yang selalu diiringi semilir lembut angin. Maka tentu saja, saya memperlambat perjalanan saya kemudian membuka helm untuk merasakan lembut anginnya yang menerpa wajah. Meski dalam perjalanan saya lebih banyak termenung, tapi hal sederhana seperti itu cukup membuat saya bahagia :)